خير كم من تعلم القران و علمه {رواه
البخاري}
Artinya :
Rasulallah SAW bersabdah : “Sebaik – baik kalian adalah
orang yang belajar Al – Qur’an dan mengajarkannya”. {H.R. Bukhari }[1]
Al – Qur’an adalah kitab yang diturunkan oleh Allah
kepada Nabi Muhammad SAW, al – Qur’an merupakan sumber rujukan paling utama
bagi umat Islam. Dan bagian dari rukun iman. Al – qur’an adalah pedoman hidup
dan Rahmatan Lil ‘alamin. Artinya, barang siapa yang mengaku dirinya muslim,
maka sudah sepantasnyalah dia mengamalkan apa – apa yang terdapat dalam al –
qur’an.
Mengamalkan Al – qur’an adalah kewajiban bagi setiap
muslim dan orang yang mengamalkannya akan terhindar dari kesesatan. Namun tidak
sedikit orang islam yang mengalami kebingungan dari mana harus memulainya…?
Mana titik tolak yang harus ditempuh ketika ingin segera mengamalkan Al –
Qur’an…? Karena merasa kebingungan, tidak sedikit umat Islam yang akhirnya
justru tidak mengamalkan Al – qur’an, sehingga jauh dari nilai – nilai Islam.
·
Dua kunci mengamalkan Al
– Qur’an
DR. Yusuf Al – Qardhawi menyebutkan, paling tidak ada
dua hal yang harus di tempuh umat islam agar dapat mengamalkan Al – Qur’an
dengan baik dan benar.
Pertama kita harus memulainya dengan mengimani Al –
Qur’an terlebih dahulu secara kaffah, menyeluruh, totalitas, tanpa tawar
menawar. Tanpa iman kepada Al – Qur’an, maka dipastikan akan sulit mengamalkan
isi Al – Qur’an. Iman kepada Al – Qur’an berarti beriman kepada seluruh
kandungan yang ada didalamnya, yang berupa aqidah, ibadah, syariat, akhlak,
adab, dan muamalah. Seorang muslim tidak boleh hanya mengambil sebagiannya
saja, misalnya dia hanya mengambil bagian aqidah saja, namun menolak bagian
ibadahnya, atau dia hanya mengambil syariat, namun menolak aqidahnya, dan
seterusnya.
·
Beberapa contoh bukan
kaffah
Mengenai hal ini, ada beberapa contoh kasus, di mana
ada sebagian umat Islam yang mengimani sebagian ayat – ayat Al – Qur’an, namun
menolak sebagian ayat – ayat lain. Misalnya mengenai ayat tentang kewajiban
puasa Ramadhan, Allah SWT berfirman, “Hai orang – orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang – orang sebelum
kamu agar kamu bertaqwa”. {Q.S. Al – Baqarah : 183}.
Ketika mendengar ayat ini, maka seorang muslim
mengatakan kami dengar dan kami taat. Mereka melaksanakan puasa Ramadhan. Namun
ketika berhadapan dengan firman Allah SWT tentang qishash, “Hai orang – orang
yang beriman diwajibkan atas kamu qishsas berkenaan dengan orang – orang yang
di bunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita
dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya,
hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah
(yang di beri ma’af) membayar (diat) kepada yang memberi ma’af dengan caara
yang baik pula…{Q.S. Al – Baqarah : 178}.
Mereka bimbang dalam melaksanakan hukum qishas. Bahkan
menjadikan hukum ini sebagai bagian dari syarat Islamyang menyeramkan. Padahal
ayat tentang qishas ini urutannya ada di empat ayat sebelum ayat tentang
kewajiban berpuasa. Namun mengapa mereka hanya mengimani ayat tentang kewajiban
berpuasa saja…? Lagi pula bentuk kalimat mewajibkannya juga sama dengan
menggunakan. “Hay orang – orang yang beriman, di wajibkan atas kamu…… supaya
kamu bertaqwa”.
Kasus lain yaitu tentang larangan Riba’, Allah SWT
berfirman : “Hai orang – orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan
tinggalkanlah Riba’ jika kamu orang yang beriman”. {Q.S. Al – Baqarah : 278}.
Umat muslimin percaya tentang ayat ini, namun ketika
dalam pelaksanaanya, mereka berfikir lagi, bagai mana mungkin mendirikan Bank
tanpa Riba’….? Adakah untungnya mendirikan Bank tanpa Riba’…? Padahal firman
Allah SWT sudah jelas – jelas memerintahkan untuk meninggalkan Riba’. Akhirnya
Allah memberikan pelajaran berharga kepada umat Islam, khususnya di Indonesia,
ketika terjadi krisis moneter 1998. Ketika itu perekonomian Indonesia yang di
bangun atas system dan praktek ribawi hancur berantakan. Semenjak itulah umat
semakin sadar akan buruknya praktek riba’ dan mulai melirik kembali system
ekonomi Islam. Sehingga Bank – bank syariah dan system ekonomi syari’ah
bermunculan.
Begitu pula dengan ayat tentang ta’addud (poligami)
yang terdapat dalam firman Allah S. An – Nisa’ : 3, para muslimah meyakini ayat
ini, tentang dibolehkannya poligami sampai batas maksimal 4 istri, namun masi
ragu dalam menerapkannya. Berbagai alasan dilontarkan ketika akan menghadapi
hal ini.
Mengimani Al – Qur’an berarti mengimani seluruhnya
tanpa terkecuali. Karena Al – Qur’an adalah satu kesatuan yang utuh, antara
ayat satu dengan ayat lain saling bertautan, dan saling melengkapi. Dengan
mengimani Al – Qur’an seperti ini, maka insya Allah akan mudah dalam
mengamalkannya.
Kedua, memberikan perhatian kepada apa – apa yang ada
atau yang diperhatikan oleh Al – Qur’an. Misalnya, perhatian Al – Qur’an
terhadap anak – anak yatim. Banyak sekali ayat Al – Qur’an yang menyebutkan
tentang anak yatim. Rasulallah SAW sendiri lahir dalam keadaan yatim. Ini
menandakan bahwa anak yatim patut mendapatkan perhatian serius dari kita, dan
juga dari Negara, untuk tidak menelantarkan anak – anak yatim, selain anak –
anak yatim, Al – Qur’an juga memberikan perhatian kepada orang – orang miskin.
Contoh lain tentang malam lailatul qadhar yang
diutarakan dalam S. Al – Qadr : 1-5, ini menandakan bahwa Al – Qur’an sangat
mementingkan dan memperhatikan tentang malam qadr ini dengan perbuatan yang sia
– sia. Kita harus memberikan perhatian yang penuh dengan berusaha menggapainya
dan mengisinya dengan amal shalih.
Masih ada lagi perhatian Al – Qur’an terhadap thaharah
(bersuci), shalat, zakat, serta puasa. Taharah diterangkan dalam Al – Qur’an
hanya beberapa kali saja, contohnya dalam surat Al – Maidah : 6. Sedangkan
dalam hal shalat, zakat, dan puasa. Al –
Qur’an menjelaskan adanya skala prioritas dalam pengalaman (pengajaran).
Demikianlah, dua hal yang harus kita mulai dalam
mengamalkan Al – Qur’an. Yaitu di mulai dari mengimaninya secara menyeluruh,
lalu memperhatikan apa – apa yang diperhatikan oleh Al – Qur’an.
Wallahu ‘A’laam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar